Pesta
demokrasi yang diadakan lima tahun sekali membuat sekat pertanyaan di
tengah-tengah masyarakat. Ternyata kegiatan untuk memilih pemimpin ini,
membutuhkan sokongan dana yang sangat besar. Dana tersebut diperuntukkan bagi
lembaga-lembaga negara untuk menjaga pemilu berjalan dengan baik.
Anggaran
pengamanan pemilu yang diajukan Polri mencapai
Rp 3,5 triliun. Khusus alokasi angaran pengamanan jumlahnya mencapai Rp
2,2 triliun hingga putaran kedua. Jumlah tersebut naik drastis karena pada
pemilu 2009 anggaran yang digunakan hanya sebesar 1,9 triliun. “Dana pengamanan
pemilu memang naik dibandingkan dengan 2009 lalu. Kondisi ini wajar karena
adanya penambahan jumlah tempat pemungutann suara (TPS), jumlah petugas
pengamanan (PAM) pemilu, dan bertambahnya logistik yang harus dikawal polisi,”
ujar Kapolri Jendral Polisi Sutarman di sela-sela Raker komisi III DPR, senin
(16/12). “Kenaikan anggaran ini memerlukan dukungan daari DPR. Namun, Polri
tetap menjaga sikap netralitasnya dalam pelaksanaan pemilu nanti,” tambahnya.
Terjadi
ketidakseimbangan dalam alokasi ini sebab TNI hanya mendapat sokongan dana
sebesar Rp 100 miliyar. Dana tersebut telah disetujui oleh Komisi I DPR. Namun,
anehnya sebagian anggota DPR mempertanyakan hal ini dan menganggap naiknya
anggaran pemilu untuk Polri biasa-biasa saja. Menurut Arwani Thomafi, ”sudah
menjadi bagian dari tugas TNI untuk menjaga keamanan nasional dari segala
ancaman. Termasuk ancaman pada pemilu. Sehingga, tanpa alokasi anggaran khusus
pun TNI seharusnya siap siaga”.
Dari
pernyataan Arwani Thomafi tentang tugas TNI untuk menjaga keamanan tanpa
alokasi anggaran khusus membuktikan bahwa kegiatan mengamankan tidak harus
menggunakan dana yang besar. Namun, Polri terlalu memakasakan kehendak untuk menaikkan
anggaran tersebut. Polri mempunyai tugas untuk menjaga keamanan, ketertiban,
dan menegakkan hukum sama halnya TNI. Polri tidak harus dikucurkan anggaran 3,5
triliun agar mereka menjalankan tugas mereka. Berdasarkan PP No. 8 tahun 2009,
gaji polisi telah naik 15 %. Jika Polri sudah mempunyai gaji yang cukup, maka
Polri tidak harus dimanjakan dengan begitu banyaknya uang yang didapatkan (implementasi dari teori stimulus-Sigmund
Freud). Dimana kesetiaan polisi untuk mengabdi kepada negara jika semuanya
dinilai dengan uang? Ini bisa berakibat fatal jika kewajiban bertugas dinilai
dari banyak uang yang diterima.
Brigjen
Pol Boy Rafli Amar, Karo Penmas Polri merincikan dana ini untuk pengadaan
senjata, pelatihan saat terjadinya bentrok, kesehatan, rapat koordinasi dan
transportasi (BBM). Pada pemilu 2014 Polri menugaskan 419.000 personel dari
berbagai kesatuan. Personel ini yang akan disebar ke suluruh Indonesia dan
secara keseluruhan mereka akan bertugas selama 136 hari. Namun, waktunya tidak
akan full karena terjadi jeda di
setiap harinya. Dalam aggaran ini pula, Polri membagi pengalokasian dananya
dalam dua pos, yakni saat pemilu legislatif sebesar Rp 1,269 triliun dan
pemilihan presiden sebesar Rp 1,146 triliun. Selain itu, Polri mengalokasikan
Rp 597,9 miliar untuk BBM.
Dapat
diindikasikan Polri terlalu menghabiskan banyak anggaran negara untuk kegiatan
uforia semata. Meskipun pemilu adalah wadah untuk mencari pemimpin yang katanya
berkualitas, tapi semuanya tidak bisa dilihat dari banyaknya dana yang
digelontorkan. Pada tahun 2009 dana yang cair Rp 1,9 triliun, pemilu berjalan
aman tanpa bentrok. Polri sudah
mempunyai persenjataan yang cukup untuk menjaga keamanan suatu daerah. Setiap
polisi sudah dibelakali dengan senjata. Untuk apa membeli senjata mahal-mahal
padahal mereka sudah mempunyai segalanya. Bahkan sebelum ditempatkan di daerah
tugas, mereka telah dilatih mengamankan bentrok. Jika mereka sakit, maka ada
anggaran dana kesehatan yang mengalir ke darah mereka. Darah yang terkucur ke
kulit telah dibayar oleh negara untuk menjaga keamanan. Namun Polri terlalu
ingin dimanja oleh negara untuk menjadi petugas pemilu.
Dikatakan
oleh Arnan selaku peserta FGD I, “satu orang polisi yang mengawas pada satu TPS
digaji Rp 500 ribu.” Jika tugas seorang polisi mengamankan jalannya pemilu sama
dengan tugas seorang guru yang mengamankan siswanya saat ujian, maka upah
semahal itu terlalu berlebihan. Sebab guru hanya diupah untuk transportasi dan
makan dengan kisaran paling tinggi Rp 150 ribu. Guru tidak diupah untuk
mendidik karena mereka sudah digaji untuk itu. Itupun mereka harus berpindah
dari satu tempat ke tempat lain dengan kendaraan pribadi, bukan dengan
kendaraan yang disediakan pemerintah.
Upah
Polri yang besar dalam sehari dalam mengamankan daerah pemilu terlalu
mencekik negara. Mereka dibayar untuk
menjalankan tugas yang semestinya dikerja tanpa imbalan lagi. Nyatanya di
lapangan saat pemilu 2009, banyak polisi yang nganggur karena tidak ada
bentrokan yang ingin dilerai. Terlebih lagi di TPS telah banyak pengawas lain,
seperti anggota KPU, perwakilan tiap partai dan aparat pada jajaran bawah.
Otomatis tugas polisi sebagai pengawas telah dimudahkan.
Sebaiknya
anggaran seperti ini dimaksimalkan untuk keperluan yang sangat mendesak,
misalnya musibah bencana alam, pemberian subsidi bagi rayat miskin atau
pendidikan daerah tertinggal. Polri tidak harus membeli persenjataan baru,
membuat pelatihan khusus untuk mengatasi bentrok, menambah anggaran kesehatan
atau membiayai rapat-rapat yang membahas tentang pemilu. Jika Polri membutuhkan
dana untuk memaksimalkan kinerja keamanan saat pemilu, cukuplah pemerintah
menyediakan dana transportasi dan konsumsi bagi mereka. Tidak usah membuat
alasan khusus mencari kemakmuran dibalik kesusahan rakyat-rakyat melarat.
Referensi:
http://berita.plasa.msn.com/nasional/tribunnews/rincian-dana-pengamanan-pemilu-polri-rp-359-triliun, 22 Januari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar