Pages

MENOLAK “SETENGAH-SETENGAH”

Selasa, 31 Maret 2015
Indonesia, negeri kaya katanya. Tiap harinya dirundung nestapa. Masalah apa yang kalian cari? Semua ada di sini. Jangan ditanya kekuasaan, masalah rumah tangga saja seluruh dunia bisa tahu. Di Indonesia, dinamika politik, ekonomi, sosial-budaya, hukum, dan pertahanan-keamanan menjadi santapan setiap harinya. Ini menunjukkan bahwa negeri ini kian jauh dari harapan dan belum mapan mengurus dirinya sendiri.
Ada banyak masalah yang sedang dihadapi oleh Indonesia di berbagai lini. Masalah ekonomi misalnya. Pada tahun 2013, utang Indonesia mencapai Rp. 2.273,76 T. Jumlah utang ini naik tiap tahunnya. Bahkan jika dikalkulasikan dengan jumlah penduduk Indonesia sekitar 249,9 juta (data BPS 2013), maka setiap bayi yang lahir di negeri ini sudah menanggung utang sekitar 9,09 juta. Utang menjadi andalan karena kekayaan alam telah tergadai dimana-mana. Menurut mantan Rektor UGM, Prof. Pratikno, asset Negara ini sudah tergadai 70-80 persen kepada asing (Humaidi, 2014). Selain itu, permasalahan seperti PT. Freeport yang dimanjakan, nilai tukar mata uang rupiah yang menurun, liberasasi migas hingga memaksa Indonesia mengikuti mekanisme pasar bebas, naiknya biaya pangan karena penimbunan oleh mafia distributor Bulog, dan pemalakan penguasa dengan target pajak hingga 1300 T untuk periode 2015.
Masalah di bidang politik-hukum, mulai dengan Pemilu yang syarat akan money politic, bagi-bagi kekuasaan, pertengkaran antar lembaga penguasa, korupsi pejabat publik, pertengkaran antar parpol, dualisme kekuasaan, liberalisasi politik, hukum tebang pilih, ketua MK korupsi, remisi koruptor, penguasa tandingan, biaya reses, sandiwara politik dan dinasti kekuasaan. Masalah di bidang sosial-budaya, seperti pergaulan bebas, konflik kesukuan, begal penjahat bermotor, dan pendidikan yang gagal melahirkan generasi madani. Masalah-masalah ini adalah hasil dari kesetengah-setengahan penguasa dan masyarakatnya dalam menerapkan hukum Allah dengan mencampur berbagai pemikiran. Sehingga tidak akan ditemui rahmat bagi negeri ini sebab pemikiran yang tidak cemerlang, jernih dan murni.
Tiap lima tahun sekali, rezim diganti, banyak solusi yang diberikan namun tidak berdampak positif, berbagai partai didirikan namun yang ada adalah pertarungan kepentingan, dan lain-lain. Hampir semua telah dicoba, namun tidak dapat mengeluarkan negeri ini dari penghambaan setengah-setengah. Penghambaan yang tidak mendasar pada fitrah manusia sebagai mahluk ciptaan Allah. Untuk merevitalisasi keadaan ini, maka hendaknya ada gerakan politik yang berlandaskan ideologi.
Ada upaya yang dilakukan untuk membangkitkan diri dari kesetengah-tengahan, namun ini menemui kegagalan. Pertama, gerakan tersebut berdiri di atas pemikiran yang umum tanpa batasan yang jelas. Kedua, gerakan tersebut tidak mengetahui metode bagi penerapan pemikirannya. Ketiga, gerakan tersebut bertumpu kepada orang-orang yang belum sepenuhnya mempunyai kesadaran yang benar. Keempat, orang yang menjalankan tugas gerakan tersebut tidak mempunyai ikatan yang benar (An-Nabhani, 2001). Sehingga ditemui kesimpulan paling awal dan mendasar bahwa merevitalisasi keadaan negeri harus dimulai dari perubahan ideologi masyarakatnya.
Gerakan-gerakan yang muncul di tengah-tengah masyarakat adalah gerakan Islam dan keagamaan yang lain, gerakan nasionalis dan kesukuan serta organisasi-organisasi sosial. Gerakan seperti ini bisa disebut juga aksi massa, yakni gerakan yang berasal dari orang banyak untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan politik mereka (Malaka, 2013). Gerakan Islam yang ada masih sangat meluas tanpa batasan yang jelas. Menginterpretasikan Islam agar sesuai kondisi negeri ini kemudian membolak-balikkan dalil sehingga tidak ditemui kejelasan tentang yang mana sebenarnya Islam. Hal seperti ini tercantum dalam buku komaruddin Hidayat (2014).
Apalagi kaum-kaum liberal membagi umat Islam menjadi tiga golongan untuk memecah kesatuaan di antara mereka dengan menggunakan istilah Islam tradisional, Islam moderat dan Islam radikal (Fundamentalis). Kemudian mereka melalui rezim merangkul erat kaum tradisional dan moderat, namun menjadikan fundamentalis sebagai teroris di Indonesia. Sebab fundamentalislah yang gerakannya masif dengan ideologi Islam sehingga tak ada lagi kesetengah-setengahan di negeri ini.
Adapun gerakan-gerakan nasional dan kesukaan sejatinya tidak akan bertahan lama bagi pemeluknya dan menjadi pemantik pergeseran di kalangan masyarakat dan dunia. Mereka diikat oleh letak geografis seutuhnya. Ketika tidak ada yang menyikut kepentingan daerahnya, maka gerakan seperti ini tidak akan aktif dan diam dengan keadaan daerah lain yang mengalami kesulitan. Gerakan seperti ini akan bersifat sementara apalagi jika itu berkaitan dengan masalah perut dan di bawah perut.
Organisasi-organisasi sosial juga tidak dapat dijadikan fokus dalam merevitalisasi negeri ini. Organisasi sosial hanya menjadi wadah tambahan untuk mengurangi sedikit kesulitan yang ada. Pengaruhnya tidak medasar sebab organisasi sosial tidak membuat atau meligitimasi kebijakan bagi masyarakat seutuhnya. Maka yang semestinya dibentuk adalah partai politik yang berideologi.
Ketiga gerakan tersebut menjadi senjata yang ampuh untuk mengintervensi pemikiran Indonesia dari kebangkitan. Para pemudanya dinyenyaktidurkan dengan kenikmatan dan pemikiran-pemikiran di luar Islam. Pemikiran-pemikiran yang sumbernya dari manusia seperti dirinya sendiri. Sedangkan mereka sangat paham pula bahwa keterbatasan melekat erat dalam dirinya. Sehingga sedalam apapun pemikiran manusia, pastilah akan ada cacatnya.
Oleh karena itu, gerakan yang benar adalah sebuah gerakan yang berdiri sebagai sebuah partai politik yang berideologi Islam. Pemikiran Islam mendalam dan cemerlang harus menjadi ruh dalam gerakan, metode yang terimplemtasikan dari pemikiran Islam tanpa campuran pemikiran lain sehingga ditemui kejernihan dan kelurusan gerakan. Dari kedua faktor tersebut akan menciptakan manusia bersih sebagai hasil darinya.
           
An-Nabhani. 2001. At-takuttul Al-Hizbiy (Pembentukan Partai Politik Islam). Jakarta: Hizbut Tahrir.
Hidayat, Komaruddin. 2014. Kontroversi Khilafah Islam, Negrara, dan Pancasila. Jakarta: Mizan.
Humaidi. 2014. Terpuruk di Semua Lini (Refleksi Akhir Tahun 2013). Jakarta: Al-Wa’ie.
Malaka, Tan. 2013. Aksi Massa. Jakarta: Buku Seru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar