Indonesia, negeri kaya katanya. Tiap harinya
dirundung nestapa. Masalah apa yang kalian cari? Semua ada di sini. Jangan
ditanya kekuasaan, masalah rumah tangga saja seluruh dunia bisa tahu. Di
Indonesia, dinamika politik, ekonomi, sosial-budaya, hukum, dan
pertahanan-keamanan menjadi santapan setiap harinya. Ini menunjukkan bahwa
negeri ini kian jauh dari harapan dan belum mapan mengurus dirinya sendiri.
Ada banyak masalah yang sedang dihadapi oleh Indonesia
di berbagai lini. Masalah ekonomi
misalnya. Pada tahun 2013, utang Indonesia mencapai Rp. 2.273,76 T. Jumlah
utang ini naik tiap tahunnya. Bahkan jika dikalkulasikan dengan jumlah penduduk
Indonesia sekitar 249,9 juta (data BPS 2013), maka setiap bayi yang lahir di
negeri ini sudah menanggung utang sekitar 9,09 juta. Utang menjadi andalan
karena kekayaan alam telah tergadai dimana-mana. Menurut mantan Rektor UGM,
Prof. Pratikno, asset Negara ini sudah tergadai 70-80 persen kepada asing
(Humaidi, 2014). Selain itu, permasalahan seperti PT. Freeport yang dimanjakan,
nilai tukar mata uang rupiah yang menurun, liberasasi migas hingga memaksa
Indonesia mengikuti mekanisme pasar bebas, naiknya biaya pangan karena
penimbunan oleh mafia distributor Bulog, dan pemalakan penguasa dengan target
pajak hingga 1300 T untuk periode 2015.
Masalah di
bidang politik-hukum, mulai dengan
Pemilu yang syarat akan money politic, bagi-bagi
kekuasaan, pertengkaran antar lembaga penguasa, korupsi pejabat publik,
pertengkaran antar parpol, dualisme kekuasaan, liberalisasi politik, hukum
tebang pilih, ketua MK korupsi, remisi koruptor, penguasa tandingan, biaya
reses, sandiwara politik dan dinasti kekuasaan. Masalah di bidang sosial-budaya, seperti pergaulan bebas, konflik
kesukuan, begal penjahat bermotor, dan pendidikan yang gagal melahirkan
generasi madani. Masalah-masalah ini adalah hasil dari kesetengah-setengahan
penguasa dan masyarakatnya dalam menerapkan hukum Allah dengan mencampur
berbagai pemikiran. Sehingga tidak akan ditemui rahmat bagi negeri ini sebab
pemikiran yang tidak cemerlang, jernih dan murni.
Tiap lima tahun sekali, rezim diganti, banyak solusi
yang diberikan namun tidak berdampak positif, berbagai partai didirikan namun
yang ada adalah pertarungan kepentingan, dan lain-lain. Hampir semua telah
dicoba, namun tidak dapat mengeluarkan negeri ini dari penghambaan
setengah-setengah. Penghambaan yang tidak mendasar pada fitrah manusia sebagai
mahluk ciptaan Allah. Untuk merevitalisasi keadaan ini, maka hendaknya ada gerakan
politik yang berlandaskan ideologi.
Ada upaya yang dilakukan untuk membangkitkan diri
dari kesetengah-tengahan, namun ini menemui kegagalan. Pertama, gerakan
tersebut berdiri di atas pemikiran yang umum tanpa batasan yang jelas. Kedua,
gerakan tersebut tidak mengetahui metode bagi penerapan pemikirannya. Ketiga,
gerakan tersebut bertumpu kepada orang-orang yang belum sepenuhnya mempunyai
kesadaran yang benar. Keempat, orang yang menjalankan tugas gerakan tersebut
tidak mempunyai ikatan yang benar (An-Nabhani, 2001). Sehingga ditemui
kesimpulan paling awal dan mendasar bahwa merevitalisasi keadaan negeri harus
dimulai dari perubahan ideologi masyarakatnya.
Gerakan-gerakan yang muncul di tengah-tengah
masyarakat adalah gerakan Islam dan keagamaan yang lain, gerakan nasionalis dan
kesukuan serta organisasi-organisasi sosial. Gerakan seperti ini bisa disebut
juga aksi massa, yakni gerakan yang berasal dari orang banyak untuk memenuhi
kebutuhan ekonomi dan politik mereka (Malaka, 2013). Gerakan Islam yang ada
masih sangat meluas tanpa batasan yang jelas. Menginterpretasikan Islam agar
sesuai kondisi negeri ini kemudian membolak-balikkan dalil sehingga tidak
ditemui kejelasan tentang yang mana sebenarnya Islam. Hal seperti ini tercantum
dalam buku komaruddin Hidayat (2014).
Apalagi kaum-kaum liberal membagi umat Islam menjadi
tiga golongan untuk memecah kesatuaan di antara mereka dengan menggunakan
istilah Islam tradisional, Islam moderat dan Islam radikal (Fundamentalis).
Kemudian mereka melalui rezim merangkul erat kaum tradisional dan moderat,
namun menjadikan fundamentalis sebagai teroris di Indonesia. Sebab
fundamentalislah yang gerakannya masif dengan ideologi Islam sehingga tak ada
lagi kesetengah-setengahan di negeri ini.
Adapun gerakan-gerakan nasional dan kesukaan
sejatinya tidak akan bertahan lama bagi pemeluknya dan menjadi pemantik
pergeseran di kalangan masyarakat dan dunia. Mereka diikat oleh letak geografis
seutuhnya. Ketika tidak ada yang menyikut kepentingan daerahnya, maka gerakan
seperti ini tidak akan aktif dan diam dengan keadaan daerah lain yang mengalami
kesulitan. Gerakan seperti ini akan bersifat sementara apalagi jika itu
berkaitan dengan masalah perut dan di bawah perut.
Organisasi-organisasi sosial juga tidak dapat
dijadikan fokus dalam merevitalisasi negeri ini. Organisasi sosial hanya
menjadi wadah tambahan untuk mengurangi sedikit kesulitan yang ada. Pengaruhnya
tidak medasar sebab organisasi sosial tidak membuat atau meligitimasi kebijakan
bagi masyarakat seutuhnya. Maka yang semestinya dibentuk adalah partai politik
yang berideologi.
Ketiga gerakan tersebut menjadi senjata yang ampuh
untuk mengintervensi pemikiran Indonesia dari kebangkitan. Para pemudanya
dinyenyaktidurkan dengan kenikmatan dan pemikiran-pemikiran di luar Islam. Pemikiran-pemikiran
yang sumbernya dari manusia seperti dirinya sendiri. Sedangkan mereka sangat
paham pula bahwa keterbatasan melekat erat dalam dirinya. Sehingga sedalam
apapun pemikiran manusia, pastilah akan ada cacatnya.
Oleh karena itu, gerakan yang benar adalah sebuah
gerakan yang berdiri sebagai sebuah partai politik yang berideologi Islam.
Pemikiran Islam mendalam dan cemerlang harus menjadi ruh dalam gerakan, metode
yang terimplemtasikan dari pemikiran Islam tanpa campuran pemikiran lain sehingga
ditemui kejernihan dan kelurusan gerakan. Dari kedua faktor tersebut akan
menciptakan manusia bersih sebagai hasil darinya.
An-Nabhani. 2001. At-takuttul Al-Hizbiy (Pembentukan Partai Politik
Islam). Jakarta: Hizbut Tahrir.
Hidayat, Komaruddin.
2014. Kontroversi Khilafah Islam,
Negrara, dan Pancasila. Jakarta: Mizan.
Humaidi. 2014. Terpuruk di Semua Lini (Refleksi Akhir Tahun
2013). Jakarta: Al-Wa’ie.
Malaka, Tan. 2013. Aksi Massa. Jakarta: Buku Seru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar