Tarmidzi Thalib
Anak manusia yang berjalan dari satu wadah ke wadah lain, menampakkan ceria pada embun kehidupan dan kembali saat gelap malam. Semoga Allah meridhoiku.
Sibuk itu Menunggu
Sabtu, 09 Mei 2015
Untukmu yang paling jauh, masa
lalu. Untukmu yang terang, masa depan. Sibuk itu Menunggu. Karena kalian, kita
belajar.
---------------------------------------------
Ayo jalan deh?
Bah, duluan maki bro..
Apa ji? Sibuk skali ki bro.
refresh sedikitlah..
Bah, ada jitu waktunya bro..
Oh iya, ada mau kutanya dan
penasaran ka. Siapa teman ta’arufmu? Hehe
? Hehe.. (diam, cengar-cengir
tidak jelas)
----------------------------------------------
Sebulan yang lalu, sempat belajar
psikologi perkembangan dewasa dan lansia. Dua hal yang paling lengket di
kepala, pekerjaan dan jodoh. Mereka yang paling berkesan. Entah kenapa, kalau
diskusinya tentang kedua hal itu teman-teman di kelas punya dua ekspresi,
serius dan bahagia. Ketika menginjak dewasa awal, semua orang memikirkan
keduanya. Jadi, bukan hal yang tabuh untuk dibicarakan di bangku tulis hingga
koridor kampus. Mungkin itu yang nabilang orang sunrise.
Tidak menolak, memang itu yang ada
di kepala. Beberapa planning sudah disusun namun realitanya kita masih bertahan
pada teori “manusia itu dinamis”. Jadi mau ki apa? Kalau ada teman yang ngajak
kesana-kemari, alasannya cuman satu “bah, duluan maki bro, ada kukerja”. Entah apa
nama variabelnya tapi kata-kata “ada mau kukerja/sibuk” adalah variabel terikat.
Dan cinta/jodoh adalah variable bebas yang banyak variabel kontrolnya. Desain penelitiannya
adalah kuantitatif korelasi.
Langsung maki seminar proposal, sebenarnya
pekerjaan itu spekulasi. Menyibukkan diri itu alasan untuk menunggu. Ada udang
di balik batu akik. Pasti bertanya “menunggu apa?” nah, kembali maki variable bebasnya.
Untukmu yang paling jauh, masa
lalu. Untukmu yang terang, masa depan. Sibuk itu Menunggu. Karena kalian, kita
belajar. Cinta datang karena banyaknya intensitas ketemuan dan komunikasi. Cinta
itu menyentuh pikiran dan fisik. Mari mengingkaari jika mampu ataukah yuk
menunggu jika merasa dinamis. Dan izinkan saya mencintai dengan caraku sendiri. Meski sebatas mengawasi dari balik kaca spion Biarkan jodoh sebagai kuasa dan masalah melangit, sedang kita membumi
menengadah tangan ke atas.
Jika saya baik, ia juga akan baik.
Begitupun sebaliknya. Ngaji juga yuk, bukan untuk jodoh, tapi akhiratnya kita.
Arrijalu khawwamuuna alannishaaaaaaa’………..
(An-Nisa:34)
PETISI SIRI’ NA PACCE MENOLAK TIUP LILIN AMERIKA (INDEPENDENCE DAY) DI LOSARI: MAKASSAR TELAH TERANCAM
Selasa, 14 April 2015
Pendahuluan
Setiap
peristiwa memiliki waktu terjadinya. Peristiwa yang berkesan akan mendapatkan
simpati yang berlebih. Simpati yang berlebih didahului dengan interaksi yang signifikan
dengan validitas dan reabilitas yang kuat pula. Adapun subjek yang sekedar
mengikuti, merekalah yang berkonformitas. Merekalah yang menaruh perhatiannya
pada kerumunan orang banyak tapi tak mengetahui subtansinya terlebih dahulu
(peringatan peristiwa).
Seorang
penjajah dapat melakukan segala cara untuk menancapkan pengaruhnya di suatu
wilayah. Berbagai cara dapat dilakukan untuk memprediksi sejauh mana penjajahan
kita efektif tanpa perlawanan. Salah satunya cara menajamkan atau memprediksi
kekuasaan kita adalah dengan membuat kegiatan bertajukkan pribadi. Dengan
diadakannya kegiatan tersebut, penjajah dapat menentukan kebijakan lanjutan
terkait respon yang mereka dapatkan.
Taktik
seperti inilah yang dicoba dilakukan oleh Amerika terhadap Makassar. Dikabarkan
oleh Antara News (2015) bahwa pada tanggal 25-27 mei 2015 akan diadakan independence day di Makassar. Melalui
perwakilannya Joanne I. Cossit selaku konsulat Jenderal AS bidang ekonomi dan
politik, ia mengatakan bahwa saya selalu nyaman
setiap ada disini. Ada banyak perusahaan Amerika yang ada di Makassar. Ekonomi
naik, pelabuhan baik.
Perkataan Joanne seperti ini menimbulkan keambiguan. Apakah
ia nyaman karena banyak perusahaan Amerika di Makassar ataukah pertumbuhan ekonominya.
Kalaupun ini berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi, maka untuk mengambil alasan
seperti ini sangat tidak relevan dengan situasi nyatanya. Tingkat kriminalitas,
seperti begal semakin meningkat. Jika pertumbuhan ekonomi berkolerasi dengan
tingkat kesejahteraan orang, maka validitas dan reabilitas pernyataan Joanne
mesti ditinjau kembali bahkan dapat diragukan atau bisa pula sebaliknya.
Tinjauan Pustaka
1.
Independence day
Dengan adanya peristiwa teh di Boston,
George III bertekad untuk menundukkan Massachusetts dengan kekuatan senjata.
Rakyat koloni tidak menghiraukan tuntutan dan ancaman Inggris, dua belas negara
koloni lainnya telah menyatakan setia kawan berdiri di belakangnya. Pada awal
Desember 1774, ke tiga belas koloni mengadakan pertemuan di Philadelphia (yang
kemudian dikenal dengan Kongres Kontinental I) untuk menentukan langkah dalam
menghadapi Inggris. Peristiwa ini merupakan pertama kalinya bagi ketiga
belas koloni di Amerika untuk bersatu dan saling bekerja sama. Kongres
Kontinental I menghasilkan pernyataan yang pada dasarnya bahwa rakyat koloni di
Amerika tetap setia kepada Raja Inggris dan menuntut kebijaksanaan agar
memulihkan hubungan baik antara daerah koloni dan negara induk
Inggris.Sementara itu, telah terjadi pertempuran antara pasukan Inggris dan
rakyat koloni. Pertempuran pertama meletus di Lexington, kemudian menjalar ke
Concord, dan Boston.
Inggris menolak tuntutan warga koloni.
Adanya The Boston Tea Party dan tuntutan tanah koloni dianggap sebagai tanda
dimulainya suatu pemberontakan. Pemerintah Inggris segera memperbesar jumlah
pasukannya di Amerika. Sejak saat itulah kaum koloni Amerika yakin bahwa jalan
damai untuk menuntut hak-haknya sebagai orang Inggris tidak mungkin dapat
tercapai. Bahkan, mereka terancam akan dimusnahkan segalanya sehingga mereka
bertekad untuk mempertahankan kebebasannya. Kaum koloni Amerika kemudian
mengangkat Goeroge Washington, seorang yang berjasa kepada Inggris dalam Perang
Laut Tujuh Tahun untuk menghadapi Inggris.
Pada mulanya perang ini hanya bersifat
menentang kekerasan pemerintah Inggris terhadap kaum koloni dan belum mempunyai
tujuan untuk mencapai kemerdekaan. Akan tetapi, tujuan perang menjadi jelas
setelah terbitnya buku Common Sense (Pikiran Seha)t (1776) karya Thomas Paine.
Tulisan ini berisikan paham kemerdekaan yang kemudian menyadarkan kaum koloni
untuk mengubah tujuan perjuangannya dari menentang kekerasan menjadi perjuangan
mencapai kemerdekaan.Dalam Kongres Kontinental II tahun 1775 di Philadelphia,
para wakil dari ketiga belas koloni sepakat untuk memerdekakan diri. Akhirnya
pada tanggal 4 Juli 1776 dicanangkan Declaration of Independence sebagai alasan
untuk memisahkan diri dari negeri induk Inggris. Naskah Declaration of
Independence ini disusun oleh panitia kecil yang beranggotakan lima orang,
yakni Thomas Jefferson, Benyamin Franklin, Roger Sherman,Robert Livingstone,
dan John Adams. Mereka itulah yang kemudian dikenal dengan Lima Tokoh Penyusun
Naskah Declaration of Independence. Pada tanggal 4 Juli 1776 ditandatangani
Declaration of Independence dan dijadikan hari Kemerdekaan Amerika
(Independence Day) (materisma.com, 2014).
2.
Siri’ Na Pacce
Kata siri’ dalam bahasa Makassar berarti malu atau
rasa malu, maksudnya siri’ (tuna) lanri
anggaukanna anu kodi, artinya malu apabila melakukan perbuatan yang tercela. Sekalipun kata siri’ tidak
hanya dipahami menurut makna harfiah tersebut. Pengertian siri’menurut istilah
dapat dilihat dari pendapat beberapa tokoh, seperti: B. F. Matthes menjelaskan
sebagaimana dikutip oleh Koentjaraningrat, bahwa istilah siri’diterjemahkan
dengan malu, rasa kehormatannya tersinggung
dan sebagainya. Menurut C.H. Salam Basjah yang dikutip oleh Mattulada memberi tiga
pengertian kepada konsep siri’, yaitu:
Pertamaialah malu, kedua, merupakan daya pendorong untuk membinasakan
siapa saja yang telah menyinggung rasa kehormatan seseorang, dan ketiga ialah
sebagai daya pendorong untuk bekerja atau berusaha sebanyak mungkin.
Siri’ pernah pula dibicarakan dan dikaji pada
Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Komando Daerah Kepolisian (KOMDAK)
XVIII Sulselra bekerjasama dengan Universitas Hasanuddin, bertempat di ruang
pola Gubernur Sulawesi Selatan pada tanggal 11 Juli 1977 sampai dengan tanggal
13 Juli 1977 dengan tema “Mengolah Masalah Siri’ di Sulawesi Selatan Guna
Peningkatan Ketahanan Nasional dalam Menunjang Pembangunan Nasional.” Adapun
hasil seminar tersebut memberikan konsep dan batasan tentang siri’antara lain:
1. Siri’
dalam sistem budaya adalah pranata pertahanan harga diri, kesusilaan dan hukum
serta agama sebagai salah satu nilai utamanya yang mempengaruhi dan mewarnai
alam pikiran, perasaan dan kemauan manusia. Sebagai konsep budaya, ia
berkedudukan regulator dalam mendinamisasi fungsi-fungsi struktrur dalam
kebudayaan.
2. Siri’
dalam sistem sosial, adalah mendinamisasi keseimbangan eksistensi hubungan
individu dan masyarakat untuk menjaga kesinambungan kekerabatan sebagai
dinamika sosial terbuka untuk beraluh peranan (bertransmisi), beralih bentuk
(bertranformasi), dan ditafsir ulang (re-interpretasi) sesuai dengan
perkembangan kebudayaan nasional, sehingga siri’ dapat ikut memperkokoh
tegaknya filsafat bangsa Indonesia, Pancasila.
3. Siri’
dalam sistem kepribadian, adalah sebagai perwujudan konkrit didalam akal budi
manusia yang menjunjung tinggi kejujuran, keseimbangan, keserasian, keimanan
dan kesungguhan untuk menjaga harkat dan martabat manusia.
Konsep siri’ berdasarkan pengertian bahasa, istilah
dan hasil seminar tersebut dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada
masyarakat secara umum tentang makna dan tujuan siri’ yang patut untuk
diyakini, dilaksanakan dan dipertahankan dalam kehidupan sehari-hari. Dari
seluruh pengertian siri’ tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa siri’ adalah
suatu sistem nilai sosial, budaya dan kepribadian yang merupakan pranata
pertahanan harga diri dan martabat manusia sebagai individu dan anggota
masyarakat.
Adapun pengertian pacce secara harfiah menurut
Limpo, yaitu pacce berarti perasaan pedis, perih atau pedih. Sedangkan
pengertian pacce menurut istilah, antara lain: pacce adalah suatu perasaan yang
menyayat hati, pilu bagaikan tersayat sembilu apabila sesama warga masyarakat
atau keluarga atau sahabat ditimpa kemalangan (musibah). Pacceini berfungsi
sebagai alat penggalang persatuan, solidaritas, kebersamaan rasa kemanusiaan
dan memberi motivasi pula untuk berusaha sekalipun dalam keadaan yang sangat
pelik dan berbahaya.
Dari pengertian di atas jelaslah bahwa pacce dapat
memupuk rasa persatuan dan kesatuan bangsa, membina solidaritas antara manusia
agar mau membantu seseorang yang mengalami kesulitan. Sebagai contoh seseorang
mengalami musibah, jelas masyarakat lainnya turut merasakan penderitaan yang
dialami rekannya itu dan segera pada saat itu pula mengambil tindakan untuk
membantunya baik berupa materi maupun non materi. Perasaan ini merupakan suatu
pendorong ke arah solidaritas dalam berbagai bentuk terhadap mereka yang
ditimpa kemalangan itu (Darwis dan Dilo, 2012).
3.
Independence Day, Hegemoni AS ke Makassar
Pengaruh Amerika untuk Indonesia sangatlah besar. Amerika
Serikat adalah negara brandal (rogue
state) terbesar di muka bumi. Ia mensponsori kudeta l di Indonesia (1965)
dan bahkan dengan dukungan institusi keuangannya/Depkeunya juga IMF,
menimbulkan aksi devaluasi kejam terhadap aset2 di Asia Timur/Tenggara termasuk
Indonesia (1997) yang menciptakan pengangguran massal dan menihilkan seluruh
kemajuan yang telah dicapai selama bertahun tahun di Asia Timur/Tenggara
termasuk di Indonesia (Harvey, 2003).
Independence day
sebagai
bentuk labelisasi dan penguatan bahwa memang wilayah-wilayah Indonesia sebagai salah
satu kabupaten Amerika dan Indonesia adalah provensinya. Bagaimana mungkin
seseorang merayakan hari peringatan negeri orang yang mengintervensi negerinya
sendiri. Terlebih lagi perayaan ini telah dilakukan sebanyak tiga kali di
provensi lain.
4.
Posisi
Masyarakat Makassar terhadap AS
Jika kita menelisik dalam tulisan lontarak terdapat
petuah-petuah atau ungkapan ungkapan yang berkenaan dengan konsep siri’, antara
lain:
1. Siritaji nakitau,
artinya hanya siri’, maka kita dinamakan manusia. Maksudnya seseorang yang
tidak mempunyai siri’, maka ia tidak ada artinya sebagai manusia (layak disebut
binatang), karena sikap orang yang tidak mempunyai siri’seperti perbuatan
binatang (tidak punya malu).
2. Sirikaji tojeng, siritaji tojeng,
artinya hanya siri’lah yang benar. Maksudnya perasaan siri’atau malu karena
melakukan perbuatan yang tercela, hal tersebut dianggap benar oleh hukum
manapun (agama, adat dan negara).
3. Karaeng, siri’ kuji ki atai,
artinya Tuanku, hanya karena siri’maka tuan memperhamba saya. Maksudnya
kedudukan (status sosial) seseorang sangat mempengaruhi sikap orang lain dalam
kehidupan sosialnya.
4. Punna taenamo siri’ku, manna
kupannobokangki, taenamo nalantang-lantang, artinya
manakala tidak ada lagi siri’ ku, maka sekalipun aku menikamkan kerisku kepada
tuan, tidaklah menjadi dalam lagi. Maksudnya apabila seseorang sudah tidak
memiliki perasaan malu, maka orang tersebut sudah tidak mempunyai kehormatan
dan kekuatan di hadapan orang lain.
5. Kaanne buttaya Gowa majarremi
nikasirikang, artinya bahwasanya negeri Gowa ini
telah ditekadkan guna membela siri’. Maksudnya bahwa kerajaan Gowa atau wilayah
Gowa merupakan daerah yang sangat menjunjung dan menghargai falsafah siri’.
Dalam pemahaman masyarakat Suku Makassar, kejayaan dan kebesaran suatu negeri
bergantung kepada empat hal pokok, yaitu adat kebiasaan (Ada’), persamaan hukum (Rapang),
undang-undang (Bicara), aturan
mengenai strata sosial (Wari), dan
aturan syariat Islam (Sara) (Marsuki
dalam Darwis dan Dilo, 2012)
Umat Islam terutama masyarakat Makassar seharusnya
memiliki kepekaan politik dan mengetahui tingkah pola negara-negara asing.
Manuver AS seharusnya sudah bisa terbaca dan tidak mudah mengecohkan umat
Islam. Wajah manis yang ditampakkan sesungguhnya hanya topeng. AS yang
nyata-nyata memerangi kaum muslim baik dengan hard poweratau soft power tergolong
negara muhariban fi’lan. Sikap yang tegas seharusnya
ditunjukkan umat Islam di Indonesia adalah perang dan melawan. Tidak sepatutnya
tunduk dan menghamba kepada AS. Sikap seperti ini bisa saja muncul jika kepala
negara mempunyai keberanian politik dan tidak takut pada negara kafir. Hal itu
dikarenakan pijakan kuatnya adalah aqidah Islam. Indonesia pun harus jelas
memposisikan, mana negara musuh dan mana negara kawan.
Cengkeraman AS dalam penjelasan di atas sudah cukup
untuk membelalakkan mata bagi siapa pun. Termasuk kalangan tokoh umat, militer,
dan mayoritas umat Islam. karena itu, saat ini tidaklah pada tempatnya ikut
serta merayakan Independence Day AS. Independen Day AS di Losari Makassar
sesungguhnya simbol hegemoni AS atas Indonesia. Umat Islam sudah semestinya
menghapuskan pemujaan manusia terhadap orang dan kepentingan AS. Justru
seharusnya, umat pun membongkar dan menghinakannya. Negara kufur merupakan
negara yang rusak dan terbelakang. Lebih dari itu, negara kafir tersebut
menentang aturan-aturan Islam.
Sekalipun negara-negara penjajah tidak lagi hadir
dengan seragamnya militer di negeri ini, namun tugas umat ini masih sangat sulit
dan jauh dari sempurnna. Hal yang seharusnya diserukan adalah untuk kembali
bersama kepada pangkuan Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah. Tentunya
ini akan mengakhiri belenggu ekonomi, politik, kebudayaan negara penjajah yang
berlandas pada ideologi kapitalisme. Saatnya umat ini dan komponen bangsa
bersatu padu dalam visi dan misi global menegakan Khilafah yang akan melindungi
harta dan jiwa umat dari serangan penjajah (Lajnah Siyasah HTI DPD Sulselbar,
2015).
5.
Petisi
Petisi menurut Bambang Marhijanto (1999), petisi
adalah permohonan. Petisi adalah permohonan resmi yang diberikan kepada pemangku
kebijakan. Bentuk petisi biasanya diawali pernyataan sikap kemudian diakhiri
dengan tuntutan massa. Yang perlu dipertegas adalah petisi merupaka amanah yang
mesti ditindaklanjuti dengan berbagai pertimbangan yang tegas dan bijak. Petisi dapat pula disertai dengan tanda tangan
oleh berbagai pihak terkait dan dapat pula dihimpun dengan menggunakan media online pada https://www.change.org/id/mulai-sebuah-petisi.
Kesimpulan
Independence day sebagai
bentuk labelisasi dan penguatan bahwa memang wilayah-wilayah Indonesia sebagai salah
satu kabupaten Amerika dan Indonesia adalah provensinya. Berdasarkan fakta yang
terindra oleh khalayak ramai serta data-data yang dapat digali lebih dalam,
maka sebagai orang Makassar yang memegang teguh falsafah siri’ na pace, yang anti akan penindasan, harga diri yang dipegang
teguh, serta empat pokok falsafah yang berkaitan dengan adat kebiasaan (Ada’), persamaan hukum (Rapang), undang-undang (Bicara), aturan mengenai strata sosial (Wari), dan aturan syariat Islam (Sara) bukanlah menjadi pertimbangan
oleh kita untuk tidak melawan kegiatan seperti ini.Masyarakat
dapat menghimpun kekuatan dengan membuat petisi penolakan. Petisi tersebut
dapat diakses secara langsung atau dengan menggunakan media online.
Daftar Pustaka
Darwis,
Rizal., & Asma Usman Dilo. 2012. Implikasi
Falsafah Siri’ Na Pacce pada Masyarakat Suku Makassar di Kabupaten Gowa. IAIN
Sultan Amai: Gorontalo.
Harvey,
David. 2003. The New Imperialism. Oxford
University.
Marhijanto,
Bambang. 1999. Kamus Lengkap Bahasa
Indonesia Masa Kini. Surabaya: Terbit Terang.
MENOLAK “SETENGAH-SETENGAH”
Selasa, 31 Maret 2015
Indonesia, negeri kaya katanya. Tiap harinya
dirundung nestapa. Masalah apa yang kalian cari? Semua ada di sini. Jangan
ditanya kekuasaan, masalah rumah tangga saja seluruh dunia bisa tahu. Di
Indonesia, dinamika politik, ekonomi, sosial-budaya, hukum, dan
pertahanan-keamanan menjadi santapan setiap harinya. Ini menunjukkan bahwa
negeri ini kian jauh dari harapan dan belum mapan mengurus dirinya sendiri.
Ada banyak masalah yang sedang dihadapi oleh Indonesia
di berbagai lini. Masalah ekonomi
misalnya. Pada tahun 2013, utang Indonesia mencapai Rp. 2.273,76 T. Jumlah
utang ini naik tiap tahunnya. Bahkan jika dikalkulasikan dengan jumlah penduduk
Indonesia sekitar 249,9 juta (data BPS 2013), maka setiap bayi yang lahir di
negeri ini sudah menanggung utang sekitar 9,09 juta. Utang menjadi andalan
karena kekayaan alam telah tergadai dimana-mana. Menurut mantan Rektor UGM,
Prof. Pratikno, asset Negara ini sudah tergadai 70-80 persen kepada asing
(Humaidi, 2014). Selain itu, permasalahan seperti PT. Freeport yang dimanjakan,
nilai tukar mata uang rupiah yang menurun, liberasasi migas hingga memaksa
Indonesia mengikuti mekanisme pasar bebas, naiknya biaya pangan karena
penimbunan oleh mafia distributor Bulog, dan pemalakan penguasa dengan target
pajak hingga 1300 T untuk periode 2015.
Masalah di
bidang politik-hukum, mulai dengan
Pemilu yang syarat akan money politic, bagi-bagi
kekuasaan, pertengkaran antar lembaga penguasa, korupsi pejabat publik,
pertengkaran antar parpol, dualisme kekuasaan, liberalisasi politik, hukum
tebang pilih, ketua MK korupsi, remisi koruptor, penguasa tandingan, biaya
reses, sandiwara politik dan dinasti kekuasaan. Masalah di bidang sosial-budaya, seperti pergaulan bebas, konflik
kesukuan, begal penjahat bermotor, dan pendidikan yang gagal melahirkan
generasi madani. Masalah-masalah ini adalah hasil dari kesetengah-setengahan
penguasa dan masyarakatnya dalam menerapkan hukum Allah dengan mencampur
berbagai pemikiran. Sehingga tidak akan ditemui rahmat bagi negeri ini sebab
pemikiran yang tidak cemerlang, jernih dan murni.
Tiap lima tahun sekali, rezim diganti, banyak solusi
yang diberikan namun tidak berdampak positif, berbagai partai didirikan namun
yang ada adalah pertarungan kepentingan, dan lain-lain. Hampir semua telah
dicoba, namun tidak dapat mengeluarkan negeri ini dari penghambaan
setengah-setengah. Penghambaan yang tidak mendasar pada fitrah manusia sebagai
mahluk ciptaan Allah. Untuk merevitalisasi keadaan ini, maka hendaknya ada gerakan
politik yang berlandaskan ideologi.
Ada upaya yang dilakukan untuk membangkitkan diri
dari kesetengah-tengahan, namun ini menemui kegagalan. Pertama, gerakan
tersebut berdiri di atas pemikiran yang umum tanpa batasan yang jelas. Kedua,
gerakan tersebut tidak mengetahui metode bagi penerapan pemikirannya. Ketiga,
gerakan tersebut bertumpu kepada orang-orang yang belum sepenuhnya mempunyai
kesadaran yang benar. Keempat, orang yang menjalankan tugas gerakan tersebut
tidak mempunyai ikatan yang benar (An-Nabhani, 2001). Sehingga ditemui
kesimpulan paling awal dan mendasar bahwa merevitalisasi keadaan negeri harus
dimulai dari perubahan ideologi masyarakatnya.
Gerakan-gerakan yang muncul di tengah-tengah
masyarakat adalah gerakan Islam dan keagamaan yang lain, gerakan nasionalis dan
kesukuan serta organisasi-organisasi sosial. Gerakan seperti ini bisa disebut
juga aksi massa, yakni gerakan yang berasal dari orang banyak untuk memenuhi
kebutuhan ekonomi dan politik mereka (Malaka, 2013). Gerakan Islam yang ada
masih sangat meluas tanpa batasan yang jelas. Menginterpretasikan Islam agar
sesuai kondisi negeri ini kemudian membolak-balikkan dalil sehingga tidak
ditemui kejelasan tentang yang mana sebenarnya Islam. Hal seperti ini tercantum
dalam buku komaruddin Hidayat (2014).
Apalagi kaum-kaum liberal membagi umat Islam menjadi
tiga golongan untuk memecah kesatuaan di antara mereka dengan menggunakan
istilah Islam tradisional, Islam moderat dan Islam radikal (Fundamentalis).
Kemudian mereka melalui rezim merangkul erat kaum tradisional dan moderat,
namun menjadikan fundamentalis sebagai teroris di Indonesia. Sebab
fundamentalislah yang gerakannya masif dengan ideologi Islam sehingga tak ada
lagi kesetengah-setengahan di negeri ini.
Adapun gerakan-gerakan nasional dan kesukaan
sejatinya tidak akan bertahan lama bagi pemeluknya dan menjadi pemantik
pergeseran di kalangan masyarakat dan dunia. Mereka diikat oleh letak geografis
seutuhnya. Ketika tidak ada yang menyikut kepentingan daerahnya, maka gerakan
seperti ini tidak akan aktif dan diam dengan keadaan daerah lain yang mengalami
kesulitan. Gerakan seperti ini akan bersifat sementara apalagi jika itu
berkaitan dengan masalah perut dan di bawah perut.
Organisasi-organisasi sosial juga tidak dapat
dijadikan fokus dalam merevitalisasi negeri ini. Organisasi sosial hanya
menjadi wadah tambahan untuk mengurangi sedikit kesulitan yang ada. Pengaruhnya
tidak medasar sebab organisasi sosial tidak membuat atau meligitimasi kebijakan
bagi masyarakat seutuhnya. Maka yang semestinya dibentuk adalah partai politik
yang berideologi.
Ketiga gerakan tersebut menjadi senjata yang ampuh
untuk mengintervensi pemikiran Indonesia dari kebangkitan. Para pemudanya
dinyenyaktidurkan dengan kenikmatan dan pemikiran-pemikiran di luar Islam. Pemikiran-pemikiran
yang sumbernya dari manusia seperti dirinya sendiri. Sedangkan mereka sangat
paham pula bahwa keterbatasan melekat erat dalam dirinya. Sehingga sedalam
apapun pemikiran manusia, pastilah akan ada cacatnya.
Oleh karena itu, gerakan yang benar adalah sebuah
gerakan yang berdiri sebagai sebuah partai politik yang berideologi Islam.
Pemikiran Islam mendalam dan cemerlang harus menjadi ruh dalam gerakan, metode
yang terimplemtasikan dari pemikiran Islam tanpa campuran pemikiran lain sehingga
ditemui kejernihan dan kelurusan gerakan. Dari kedua faktor tersebut akan
menciptakan manusia bersih sebagai hasil darinya.
An-Nabhani. 2001. At-takuttul Al-Hizbiy (Pembentukan Partai Politik
Islam). Jakarta: Hizbut Tahrir.
Hidayat, Komaruddin.
2014. Kontroversi Khilafah Islam,
Negrara, dan Pancasila. Jakarta: Mizan.
Humaidi. 2014. Terpuruk di Semua Lini (Refleksi Akhir Tahun
2013). Jakarta: Al-Wa’ie.
Malaka, Tan. 2013. Aksi Massa. Jakarta: Buku Seru.
Selasa, 28 Oktober 2014
guys, DataPrint sedang bagi-bagi beasiswa. Yuk ikut! ^_^
www.beasiswadataprint.com
www.dataprint.co.id
www.tarmidzithalib.blogspot.com/beasiswadataprint.html
Read more ...
www.beasiswadataprint.com
www.dataprint.co.id
www.tarmidzithalib.blogspot.com/beasiswadataprint.html
Merah di bibir
Jumat, 06 Juni 2014
tahukah merah di bibir. Motion yang sebenarnya adalah bentuk keakraban. Namun setiap motion membawamu ke dalam persepsi terdalam riwayat hidup tentang sosok yang membayang di setiap momennya. Betapa sulitnya menafsirkan motion yang hanya menggunakan dua celah mata. Penafsiran pun terus berusaha dilakukan. Terkadang sebagian orang bingung, apakah ia akan membalasnya dengan merah di bibir atau senyum kuning dengan wajah ceria menerima ejekan atau bentuk keakraban. Sulit bagi mereka membedakannya. selayaknya buah pinang dibelah dua, maka kalian akan menemui ujung dan dasar yang sama. Tapi kembali lagi pada persepsi kita bahwa persamaan dan perbedaan antara dua hal tidak bisa dikatakan identik.
Di satu sisi, anda berusaha menerima si merah di bibir dengan tetap tersenyum. Kemudian di sisi lain, mungkin saja orang tersebut berharap anda akan membalasnya dengan si merah di bibir pula. Menuju sisi lainnya, anda tidak ingin membalas dengan pandangan bahwa si merah di bibir akan membawa pertengkaran karena nyatanya dengan hal sedikit saja hati bisa teriris dan tak ada pengobatnya. Namun di sisi terakhirnya, andai saja anda berusaha membalas, ternyata anda tidak suka dengan ejekan. Maka muncullah empat sisi yang membuat kalian memutar otak. Kurasa pada titik itulah kalian akan terdiam.
Rabu, 14 Mei 2014
#Menjadi Penalaran 2
Bulan november masih pertengahan dan panggilan populer
kami di Universitas masih melekat erat,
“MABA”. Semangat menjalani kehidupan baru di kampus masih menggebu-gebu pula.
Ini yang mendasari pencarianku dalam gubangan organisasi dan
perkumpulan-perkumpulan lainnya.
Sebelum masuk Universitas Negeri Makassar, dialog dengan
sepupu di atas mobil menjadi perbincangan yang menarik tentang wadah apa yang
bagus di UNM. Ia pun menjawab, “banyak ji yang bagus, tapi yang paling bagus
menurutku itu Penalaran”. Tanda tanya muncul, “apa itu Penalaran? Biasanya
kalau tes TPA ada dibilang penalaran”. Sambil tertawa ia menjawab, “hehe...
bukan itu, Penalaran itu sering sekali berprestasi. Kebanyakan diantara
anggotanya itu jadi mapres (Mahasiswa
Berprestasi) tingkat Universitas”. Jawaban yang mungkin menarik untuk
pernyataan itu adalah “hmmmmm...”. Dalam hati berkata’ “ai susah masuk disitu”.
Dengan silih bergantinya siang dan malam, saya pun
menjalani romantisasi awal di Kampus. Romantisasinya kembali ke pertengahan november.
Sebab saya mahasiswa psikologi, maka orang yang pertama kali diromantisi adalah
kakak-kakak di Fakultas. Setiap ngumpul, tidak lain pembicaraannya pasti
ilmu-ilmu tentang psikologi dan kelembagaan. Itu terus, mungkin hanya itu yang
menarik. Ehh, perbicangan tentang hati
juga seru tapi jauh dari tujuanku. Awal
masuk di kampus, tujuanku hidup hanya mau berprestasi tapi tidak tahu bagaimana
caranya.
Teringat dengan kata-kata sepupu tentang Penalaran, saya
pun mencoba cari tahu kapan dibuka pendaftarannya. Setiap jalan yang dilalui k’
Putra, k’ Sappe, k’ Irwan, k’ Ica dan kakak di Psikologi lainnya yang menjadi anggota Penalaran, pasti
mereka dapat pertanyaan yang susah, “kapan terbuka pendaftarannya Penalaran
k’?”. Pertanyaan itu cukup rumit untuk dijawab sebab mereka juga belum tahu
kapan pendaftarannya terbuka.
Tanggal 23 Desember 2014 terbukalah pintu gerbang Rumah
Nalar. Baliho besar dipajang di Gunung Sari, terlihat banyak agenda pengkaderan
disana. Sosialisasi dan pendaftaran dibuka hingga tanggal 13 Januari 2014.
Berhubung saat itu ada agenda penting “Seminar dan Try Out Se-Kab. Takalar,
maka agenda untuk daftar diundur terus. Sampai deadline tanggal 13,
formulir baru bisa ngisi. Kurasa jawabannya agak ngawur, yang penting isiannya
panjang. Sebab, waktu kembalikan formulirnya dicek banyak tidaknya jumlah
huruf. Karena jumlah kalimatnya lumayan sedikit, makanya disuruh tambah lagi.
Rumus menambah kalimat itu dengan memperbesar ukurannya, mungkin ditambah 0,5
cm dan memperlebar spasinya jadi 2,0. Didapatlah jawaban yang memenuhi kriteria
bidang sekretariat PMP-OMK.episode 1
berlanjut~
Langganan:
Postingan (Atom)